Buletin Islam | Pada mulanya, berkurban tidaklah hanya dengan hewan, melainkan juga dengan tanaman. Itu terlihat dari kisah Qabil dan Habil.
Qabil dan Habil adalah putra dari pasangan Nabi Adam dan Siti Hawa. Mereka oleh Allah SWT disuruh untuk berkurban. Qabil berkurban dengan hasil kebun karena ia petani. Sementara Habil berkurban dengan seekor kambing karena ia seorang peternak. Namun ada perbedaan di antara keduanya. Qabil dengan hasil tanamannya yang buruk. Sedang Habil dengan Hewan ternaknya yang bagus. Qabil tidak diterima. Sedang Habil diterima.
Kisah keduanya ini Allah SWT abadikan dalam Al-Qur’an yang berbunyi,
وَٱتۡلُ عَلَيۡهِمۡ نَبَأَ ٱبۡنَيۡ ءَادَمَ بِٱلۡحَقِّ إِذۡ قَرَّبَا قُرۡبَانٗا فَتُقُبِّلَ مِنۡ أَحَدِهِمَا وَلَمۡ يُتَقَبَّلۡ مِنَ ٱلۡأٓخَرِ قَالَ لَأَقۡتُلَنَّكَۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلۡمُتَّقِينَ
Artinya: “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 27)
dalam Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Imam al-Qurtubi menjelaskan bahwa setiap Siti Hawa melahirkan, maka yang keluar adalah dua bayi, satu perempuan dan satunya laki-laki. Kedua bayi itu bisa kita sebut sebagai ‘saudara satu kandungan’. Memang pernah satu kali Hawa melahirkan anak tunggal (bukan berpasangan), yaitu saat melahirkan Nabi Syits, yang lahir menggantikan Habil karena dibunuh saudaranya sendiri, Qabil.
Qabil lahir bersama dengan saudari satu kandung yang bernama Iqlima. Konon, Iqlima terlahir sebagai wanita yang cantik berseri. Sementara Habil lahir dengan saudari kandungan yang bernama Labuda. Paras Labuda tidak secantik Iqlima. Sesuai dengan aturan yang berlaku, maka Qabil harus menikah dengan Labuda.
Sementara Habil menikahi Iqlima. Aturannya tidak boleh menikahi saudara satu kandungnya. Melihat ketentuan demikian, Qabil tidak terima. Ia hanya mau menikahi saudari satu kandungnya, Iqlima, yang memiliki paras yang lebih memesona. Mengungkapkan rasa tidak terimanya, Qabil berkata,
أَنَا أَحَقُّ بِهَا، وَهُوَ أَحَقُّ بِأُخْتِهِ، وَلَيْسَ هَذَا مِنَ اللَّه تَعَالَى، وَإِنَّمَا هُوَ رَأْيُكَ!
Artinya: “Saya lebih berhak untuk Iqlima. Dan Habil pun lebih berhak dengan saudari perempuan sekandungnya. Ketentuan ini sebenarnya bukan dari Allah, melainkan hanya akal-akalanmu (Adam) saja!” (lihat al-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 11, hal. 204)
Singkat cerita, Nabi Adam as memerintahkan kedua putranya (Qabil dan Habil) untuk berkurban. Maka, barang siapa yang kurbannya diterima oleh Allah swt, ia lah yang lebih berhak. Dalam Mafatih al-Ghaib, Syekh Fakhruddin al-Razi (w. 1210 M) menjelaskan, jika kurban mereka diterima, maka persembahan kurbannya akan disambar oleh api yang turun dari langit sebagaimana pendapat mayoritas ahli tafsir.
Qabil yang berprofesi sebagai petani, mempersembahkan kurbannya berupa hasil bumi miliknya. Hanya saja, hasil bumi yang dikeluarkannya begitu buruk. Sementara Habil yang berprofesi sebagai peternak, mempersembahkan kurbannya dengan seekor kambing. Jika Qabil berkurban dengan hasil tanaman yang buruk, lain dengan Habil yang berkurban dengan seekor kambing pilihan terbaik miliknya.
Dari persembahan yang dikeluarkan masing-masing Qabil dan Habil, kita bisa menilai, mana yang benar-benar ikhlas, dan mana yang tidak. Tentu, Habil-lah yang tampak ikhlas karena berkurban dengan kambing pilihan terbaik miliknya. Bukan Qabil yang dengan tanaman buruk hasil panennya. Ini juga mengindikasikan bahwa Qabil bukanlah seorang yang bertakwa dan taat kepada Allah swt. Benar saja, api turun dari langit dan menyambar kambing milik Habil. Sementara tanaman persembahan milik Qabil tidak.
Artinya, kurban Qabil tidak diterima, sedangkan kurban Habil diterima. Menyadari hal ini, Qabil pun tidak terima dan merasa iri kepada Habil. Dengan emosi, Qabil mengambil batu besar dan memukulkannya ke kepala Habil sampai meninggal.
Dalam Mafatih al-Ghaib, Syekh Fakhruddin al-Razi menjelaskan bahwa yang artinya:
“Allah ta’ala menerima kurban Habil dengan menurunkan api untuk menyambar kurban milik Habil. Kemudian Qabil membunuhnya karena merasa dengki.”
Hikmah
Pertama, ayat ini memiliki keterkaitan dengan ayat sebelumnya (QS. Al-Maidah [5]: 26) yang menjelaskan tentang Bani Israil (Yahudi) yang membangkang kepada Nabi Musa. Hikmahnya adalah pembahasan QS. QS. Al-Maidah (5): 27 memberitahu kita bahwa karakter Bani Israil adalah zalim sebagaimana kekzaliman Qabil terhadap saudaranya, Habil.
Ini juga sekaligus dalam rangka menenangkan Nabi Muahhamad saw, bahwa orang Yahudi yang kejam terhadapnya, juga sama seperti Yahudi sejak dulu yang membunuh nabi-nabinya, sebagaimana kejamnya Qabil membunuh Habil.
Artinya, bukan Nabi Muhammad saja yang ditindas oleh Yahudi, nabi-nabi sebelumnya pun demikian, bahkan sampai dibunuh. (llihat al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz, 7, hal. 408) Kedua, ayat ini juga berkaitan dengan ayat sebelumnya (QS. Al-Maidah [5]: 18), dengan penegasan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengaku sebagai keturunan nabi-nabi, nasab itu tidak ada manfaatnya jika tidak taat kepada Allah swt.
Sebagaimana Qabil yang merupakan anak Nabi Adam. Meskipun Qabil anak seorang nabi, tapi nasabnya tidak ada nilainya karena kezaliman yang diperbuatnya. (lihat al-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 11, hal. 203) Pesan moral poin kedua ini menegaskan, bahwa nasab bukanlah penentu keberhasilan seseorang. Semua kembali pada pribadi masing-masing.
Dalam kisah lain, kita juga tahu seorang anak yang bernama Kan’an tidak mau beriman kepada Allah. Padahal ia adalah anak Nabi Nuh as. Akhirnya, dalam suatu tempo, bersama dengan kaum Nabi Nuh yang lain, Kan’an di azab oleh Allah SWT.