Pengasuh PP Raudlatul Ulum 1 Ganjaran, Menerima Kunjungan Sejumlah Habaib dan Kiai KALBAR

BuletinIslam.com | Malang, Rabu, 24 Juni 2020, Dewan Pengasuh PP Raudlatul Ulum (PPRU) 1 Ganjaran menerima kunjungan silaturrahim sejumlah kiai dan habaib dari Kalimantan Barat (23/06/2020). Di antaranya adalah Kiai Suaidi Mastur selaku koordinator rombongan, Kiai Zamroni Hasan, Habib Toha al-Jufri, Habib Muhammad al-Qadri, Kiai Fakhrurrozi, Kiai Zainuddin, dan sejumlah kiai muda lainnya. Para tamu disambut langsung oleh Kiai Mukhlis Yahya selaku Pengasuh Utama di dalem beliau, didampingi oleh sejumlah pengasuh lainnya, seperti Kiai Abdul Mannan, Kiai Nasihuddin, Kiai Abdurrahman, Kiai Abdurrohim, dan beberapa yang lain.

Misi utama rombongan tamu tersebut, selain bersilaturrahim, juga menimba pencerahan terkait nasib dan masa depan pesantren, khususnya dalam konteks pandemi Covid-19 ini.

Bacaan Lainnya

Kiai Suaidi Mastur, ketika memulai diskusi, menuturkan bahwa kiai-kiai di Kalimantan Barat saat ini sedang diliputi “keresahan”.

Situasi yang tidak menentu saat ini menyebabkan banyak santri belum bisa kembali ke pesantren.

Hal ini tentu saja sangat merugikan dan berdampak pada pesantren dan masyarakat secara umum. Semua ini masih ditambah dengan disahkannya UU Pesantren (No. 18 Th. 2019) yang menurutnya bisa berdampak buruk bagi kekhasan, kemandirian, dan masa depan pesantren.

Menanggapi misi utama rombongan tamu tersebut, Pengasuh PPRU 1 menyampaikan sejumlah pandangan. Kiai Abdurrahman menyatakan bahwa terkait dampak pandemi Covid-19, semua kiai pesantren sebetulnya memiliki keresahan yang sama.

Mereka semua resah karena dampak pandemi Covid-19 ini sangat terasa dalam berbagai aspek kehidupan sosial-ekonomi masyarakat, termasuk pesantren.

Hanya saja, menurut doktor lulusan UIN Malang ini, persepsi dan respon kiai-kiai pesantren beragam. Ada yang percaya, ada yang setengah percaya dan setengah tidak, dan ada pula yang tidak percaya.

Persepsi itu melahirkan respon dan kebijakan yang beragam pula, misalnya yang berkaitan dengan penetapan masa libur dan aktif pesantren.

Namun, tegasnya, semua kiai pesantren pada dasarnya memiliki harapan yang sama, yaitu bahwa pandemi ini segera berakhir dan kehidupan pesantren kembali normal seperti sedia kala.

Penegasan tentang harapan tersebut diamini oleh Kiai Mukhlis Yahya. Menurutnya, Covid-19 telah “sukses” membuat kehidupan pesantren menjadi serba-sulit. Karena itu, tegasnya, kita berharap pandemi ini segera berakhir dan kita semua diberi keselamatan dan kesehatan oleh-Nya.

Terkait UU Pesantren, Pengasuh PPRU 1 juga menegaskan posisi tengah. Kiai Nasihuddin menyatakan, UU Pesantren justru menguntungkan masa depan pesantren.

Sebab UU tersebut tidak hanya menegaskan pengakuan konstitusional negara terhadap pesantren, tetapi juga memproteksi kekhasan dan tradisi berbasis kitab kuning dalam kehidupan pesantren sejak dulu.

Pernyataan ini dikuatkan oleh Kiai Abdul Mannan, bahwa UU Pesantren menjamin kemandirian pesantren dalam hal perumusan kurikulum dan standar mutunya sendiri.

Jika ada pasal yang dirasa janggal, lanjut Kiai Abdurrahman, maka yang harus dilakukan adalah klarifikasi (tabayyun) dan menempuh jalur konstitusional, yakni mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Kiai Nasihuddin juga menimpali bahwa yang harus kita lakukan adalah justru mengawal perumusan Peraturan Pemerintah (PP), mumpung rumusan itu belum muncul. Tujuannya adalah agar PP itu mengakomodir harapan kiai-kiai pesantren serta tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang termuat dalam UU Pesantren.

Di akhir diskusi, Habib Toha al-Jufri menyatakan kegembiraannya atas hasil perbincangan tersebut.

Menurutnya, rombongan ini datang ke Jawa untuk menimba pengetahuan dari kiai-kiai di Jawa, mengingat pesantren yang ada di Kalimantan Barat relatif masih baru, sehingga sangat membutuhkan arahan dan sekaligus doa dari kiai-kiai di Jawa yang relatif jauh lebih berpengalaman dalam mengelola pesantren.

Walhasil, diskusi dalam pertemuan silaturrahim tersebut berlangsung gayeng. Perbincangannya serius, namun tidak lepas dari aneka macam guyonan khas kaum pesantren.

Diskusi gayeng tersebut kemudian ditutup dengan sesi foto bersama sebagai simbol kebersamaan di antara para kiai dan habaib yang hadir terkait keresahan dan harapan masa depan pesantren, di satu sisi, sekalipun mungkin beragam dalam hal persepsi dan respon terhadap realitas dan isu-isu tertentu, di sisi yang lain. (Adib & Abdurrohim)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *