“Barang siapa yang melupakan asalnya, maka sulit baginya untuk mencapai kesuksesan.”
Begitulah kira-kira kata yang pas untuk menggambarkan akan salah satu hikmah dari adanya sowan kepada guru. Bahwa seorang santri (murid), di mana pun dan kapan pun, jangan sampai melupakan guru yang dulu pernah mengajar dan membimbingnya. Hubungan guru dan murid (kiai dan santri), tidak selesai begitu saja setelah proses belajar rampung. Tapi, sampai kapan pun, hubungan ruhani akan terus terkoneksi. Kendati jarak memisah begitu jauh.
Jangan sampai, guru yang dulu pernah mengajarnya, hanya karena alasan sudah selesai dari interaksi belajar, dilupakan begitu saja. Dalam literatur pesantren, keberkahan menjadi taruhannya. Jika murid sudah tidak lagi ingat terhadap sang guru, keberkahan bisa berkurang, atau bahkan “tidak mberkahi” (tidak berkah hidupnya).
Mungkin pepatah yang mengatakan kacang yang lupa pada kulitnya sangatlah cocok untuk dapat disematkan terhadap orang yang semacam ini. Padahal, kacang akan terbentuk menjadi kacang dalam sebuah kulit yang membungkusnya sampai menjadi betul-betul kacang yang bisa dinikmati banyak orang. Tapi, kacangnya yang bisa dimakan, sementara kulit dibuang dan menjadi sampah. Begitu pun seorang murid. Bisa memperoleh ilmu dan suatu pencapaian hidup, tidak lepas dari peran seorang guru yang dulu membekalinya ilmu dan doa setiap saat.
Dalam tradisi pesantren, salah satu upaya untuk menjaga dan memperkuat hubungan kiai dan santri adalah dengan sowan. Sowan merupakan tradisi bersilaturahmi kepada kiai. Meski seorang santri sudah tidak lagi di pesantren, ia akan tetap menjaga dan memperkuat hubungan dengan kiainya dengan tradisi sowan tersebut. Mengenai hubungan guru dengan seorang murid, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa yang artinya
“Seorang murid harus memiliki sosok syaikh dan guru yang diikuti dan menuntunnya ke jalan yang banar. Jalan agama begitu terjal, sementara begitu banyak jalan-jalan setan. Barang siapa yang tidak memiliki guru, maka setan akan menyesatkan jalannya. Seperti orang yang melewati sebuah pedalaman berbahaya tanpa pemandu, maka akan sangat mengancam keselamatannya. Orang yang tanpa guru, laksana pohon yang tumbuh tanpa diurus. Dalam waktu dekat akan mati. Andai pun pohon itu hidup dalam waktu yang lama, tak akan berbuah. Penjaga murid adalah gurunya. Berpeganglah padanya.” (lihat Ihya ‘Ulumiddin, juz 1, hal 98)
Dari pesan yang telah disampaikan oleh Al-Ghazali diatas, dapatlah kiranya kita mengambil dua poin penting terkait hubungan seorang guru dan murid. Pertama, guru merupakan orang yang merawat si murid. Tanpa perawatan guru melalui ilmu yang diajarkan serta upaya-upaya zahir dan batin yang diberikannya, tidak mungkin seorang murid mampu meraih apa yang hendak dicapainya. Al-Ghazali menganalogikannya bagaikan pohon yang tumbuh tanpa perawatan. Pasti akan mati kekeringan. Jika pun hidup, mustahil berbuah.
Kedua, guru adalah petunjuk jalan bagi murid. Ibarat orang yang pertama kali memasuki hutan tanpa adanya orang ahli yang mendampingi, kemungkinan tersesat sangatlah besar untuk ditemui. bahkan bisa saja ia termasuk dari orang yang sengaja menjemput ajalnya.
Semoga kita senantiasa menjadi manusia yang selalu dapat bersambung terhadap guru-guru kita. Amiin.