BuletinIslam.com | Bulan Ramadhan menjadi sangat istimewa dan ditunggu-tunggu oleh umat Islam di Dunia setiap tahunnya. Sebab, bulan ini memang memiliki kedudukan dan keutamaan yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan yang lain.
Nuzulul Quran, Malam Laitaltul Qadar, merupakan sekian keistimewaan yang dimiliki oleh bulan Ramadhan. Lain lagi dengan kondisi sosial yang terasa lebih islami juga dirasakan saat bulan ini tiba.
Dari sekian amalan-amalan yang dianjurkan dilaksanakan saat berpuasa, seperti Shalat Tarawih, Shalat witir berjamaah, dan lain sebagainya. ada sebuah tradisi yang juga perlu disikapi secara serius, contohnya adalah Lafadz Doa / Niat Berpuasa.
Mengapa demikian? karena bacaan niat puasa yang biasa dibaca secara berjamaah, khususnya setelah shalat witir tersebut, terdapat lafadza / redaksi Ramadhana, menggunakan fathah, tidak menggunakan redaksi Ramadhani menggunakan kasroh.
Urgensitas Niat Puasa Waktu dan Tempatnya
Syariat Islam telah memberikan aturan-aturan dalam pelaksanaan Ibadah, termasuk puasa. Aturan-aturan tersebut berupa syarat dan rukun-rukun yang perlu diperhatikan, agar ibadahnya menjadi sah.
Dan salah satu rukun puasa adalah membaca niat pada malam harinya, atau dalam istilah ilmu fikih disebut dengan “tabyit” atau menginapkan niat. Dan waktu membaca niat ini, dimulai dari terbenamnya matahari, hingga terbitnya fajar shadiq.
Sementara persoalan melafadzkan atau mengcupakan niat atau tidak, sebenarnya bukan masalah yang penting untuk dibahas, sebab niat secara istilah adalah “Menghendaki sesuatu yang dibarengi dengan pekerjaan“.
Dan niat secara prinsip juga berada di dalam hati, sementara mulut hanya membantu hati dengan melafadzkannya.
Namun yang jadi masalah, adalah ketika pengucapan niat tersebut ternyata salah, meskipun hal ini tidak berdampak pada sah dan tidaknya puasa yang akan dijalankan. Asalkan, niat yang ada dalam hati berupa “niat untuk melaksanakan puasa esok hari” tetap benar.
Dan yang menjadi persoalan, jika niat yang diucapkan salah, dan ternyata sesuai dengan yang diinginkan oleh hati, maka perlu ada koreksi khusus.
Harakat Niat Puasa Yang Benar.
Agar lafzda niat yang diucapkan benar sesuai dengan kaidah gramatika arab, dan tentunya juga benar sesuai yang berada dalam hati, perlu dijelaskan terlebih dahulu redaksi niat puasa, khususnya berkenaan dengan kata “Ramadhan”
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَنَةِ فَرْضًا لِلهِ تعالى
Latinnya : “Nawaitu Shouma Ghadin ‘An Adaa’i Fardhi Syahri Ramadhani Hadzihis Sanati Fardhan Lillahi Ta’ala“
Artinya : “Aku berniat untuk berpuasa esok hari dalam rangka menjalankan kewajiban bulan ramadhan tahun ini, sebagai kewajiban, karena Allah swt”
Perhatikan pada redaksi Ramadhani, kata ini dalam redaksi niat diatas di baca kasrah, dan bukan menggunakan redaksi Ramadhana seperti yang banyak dilafadzakan oleh masyarakat.
Dan penggunakan Ramadhani ini dianggap lebih tepat. Mengapa? sebab kata tersebut masuk dalam kategori Isim Ghoiru Munsharif (kata benda yang tidak menerima tanwin), yang memiliki ketentuan berbeda dengan kalimat isim (kata-kata benda) yang lainnya.
Yang mana, jika Isim Ghairu Munsharif di berkedudukan di baca Jier, maka dia dibaca fathah tidak seperti isim lain pada umumnya.
Namun, ketentuan ini, tidak berlaku jika kondisi Ramadhana tersebut, selain dia berstatus sebagai Mudhaf Ilaih dari kata Syahri sebelumnya, dia juga berstatus sebagai Mudhaf untuk kalimat berikutnya, yakni Hadzihis Sanati.
Sehingga, kata Ramadhani dalam redaksi niat diatas lebih tepatnya dibaca kasroh, menjadi Ramadhani, dan bukan dibaca fathah menjadi Ramadhana, sebagaimana ditegaskan dalam kitab I’anah Thallibin.
Lantas, jika tetap membaca Ramadhana, apakah puasanya sah atau tidak? tentu jawabannya sah, sebab seperti yang disebutkan diatas, tempat niat adalah di dalam hati, dan bukan pada mulut atau ucapan.