Problematika Pesantren Di Tengah New Normal

BuletinIslam.com | Belakangan ini, mulai ramai diberitakan tentang penerapan pola hidup Kenormalan Baru atau dikenal dengan istilah “New Normal” di tengah pandemi Covid-19 ini. Disebut “Normal”, karena tatanan kehidupan masyarakat dirancang normal kembali tanpa adanya sekat aturan batasan-batasan secara geografis sebagaimana berlaku sekarang seperti PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Dikatakan “New”, sebab bentuk hidup bermasyarakat diskenariokan sepenuhnya menyelenggarakan pola-pola protokol kesehatan yang telah dianjurkan pemerintah.
Problematika Pesantren Di Tengah New Normal
Panduan umum protokol kesehatan tersebut adalah: (1) Mencuci tangan. (2) Tidak menyentuh wajah saat tidak bersih. (3) Terapkan etika batuk dan bersin. (4) Menggunakan masker. (5) Jaga jarak atau physical distancing. (6) Isolasi mandiri bagi yang kurang sehat. (7) Hidup berpola sehat.

Dengan kata lain, masyarakat dipersilahkan hidup seperti sediakala tetapi tetap mengindahkan aturan dasar hidup sehat mencegah covid-19.

Bacaan Lainnya

Lalu bagaimana dengan dunia pesantren? Mungkin setiap orang akan sepakat – terutama kalangan pesantren – salah satu sektor paling sulit menyelenggarakan protokol kesehatan adalah kaum santri. Kesulitan itu tampak pada dua aspek, yaitu: (1) Aspek paradigma berfikir yang selama dianut para santri. (2) Aspek ketersediaan fasilitas.

Dalam aspek paradigma berfikir, sebagaimana dimaklumi, cara nalar para santri yang masih diwarnai oleh unsur fatalism terhadap setiap gejala cukup dominan di dunia kaum sarungan itu. Oleh sebab itulah, proses internalisasi pola kenormalan baru di pesantren agaknya butuh waktu yang tidak singkat. Namun sisi ini masih terbuka kemungkinan untuk diubah walau secara bertahap. Asalkan strata di atas santri berkenan mengintruksikan gaya hidup sehat, maka pola fikir mereka akan terurai.

Sedangkan dalam aspek kesiapan kelengkapan fasilitas melaksanakan protokol kesehatan, tentu saja berpulang pada keberadaan masing-masing pesantren yang beragam. Disinilah problematika dunia pesantren mulai menguap tatkala “New Normal” benar-benar diterapkan. Alhasil, pesantren yang tidak ditopang sumber finansial berkecukupan, akan mengalami kesulitan tersendiri. Dalam fenomena ini, dibutuhkan pihak luar yang tidak menutup mata.

Sebagai lembaga pendidikan yang terbilang kuno dengan segudang pengalaman sejarah yang panjang, kehidupan para santri terbentuk sebagai komunitas eksklusif yang sering kali tidak terjamah oleh interaksi sosial masyarakat. Pola kehidupan mereka acapkali menyempal dari gaya hidup kebanyakan kaum terpelajar lainnya. Salah satu gambaran relasi antar teman misalnya, mereka sudah terbiasa menyantap makanan tanpa memperhitungkan kebersihan, atau meluangkan waktu istirahat tanpa memperdulikan aspek-aspek kesehatan dan lebih mengedepankan azas kebersamaan.

Kondisi inilah menurut hemat penulis merupakan faktor yang turut memperlambat adaptasi kaum pesantren untuk bergeser dari  istiadat lama kepada cara hidup “New Normal”.

Menumbuhkan Kemandirian

Sekalipun problem yang melilit pesantren cukup pelik di dalam menghadapi pola hidup baru ini, eksistensi lembaga pendidikan keagamaan tersebut tidak boleh goyah sebab musibah ini. Pesantren diandaikan mampu bertahan di tengah-tengah kondisi apapun, termasuk keadaan pemulihan dari wabah ini, dengan caranya sendiri, dan segenap potensi yang dimilikinya. Mau tidak mau, kaum santri harus membuktikan kemampuannya dapat mewujudkan tindakan versi mereka menghadapi segala macam tantangan.

Pilihan mengatasi perubahan pola hidup tidak lain kecuali dengan menumbuh-kembangkan hidup berdikari. Usaha memberdayakan potensi ini bisa diejawantahkan dalam ikhtiar:

  1. Potensi kreativitas para santri menjadi jalan solutif mengentaskan diri dari persoalan ini, misalnya dengan mengarahkan mereka agar memproduksi masker secara mandiri, membuat tempat cuci tangan atau membuat hand sanitizer ala santri.
  2. Pihak Pengasuh atau Pengurus Pesantren senantiasa mendoktrinasi mereka supaya berperilaku bersih sebagaimana yang selama ini didengungkan lewat pengajaran.
  3. Merancang program kesehatan dengan ruang yang lebih luas, misalnya penyediaan kegiatan olah raga yang sementara ini cenderung disepelekan.
  4. Memperkuat aspek isolasi lingkungan yang menjamin penularan virus ini menyebar sehingga komunitas santri tidak menjadi kluster baru.
  5. Membudayakan ajaran Islam yang sebenarnya menitikberatkan pada segi kebersihan, seperti ajaran “daimul wudhu’”.
Dengan upaya-upaya semacam ini, diharapkan kalangan pesantren memiliki kesiapan menghadapi pola hidup baru atau “New Normal” di masa depan dan keberlangsungan pendidikan di dalamnya tetap lestari.

~~~
Semoga berkah
Gus Mad
Dewan Pengasuh PPRU I Ganjaran Gondanglegi Malang

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *