Buletin Islam | Mempunyai daya hafal yang bagai kokohnya gunung dan bagai terumbu karang dilaut adalah salah satu hal yang dizaman sekarang sangat di idamk-idamkan. Tapi sebetulnya, hal demikian adalah hal yang hampir terbilang lumrah terjadi pada ulama-ulama dahulu. Salah satunya adalah Imam Qatadah.
Mengenai tanggal kelahirannya, ulama berbeda pendapat akan hal itu. Namun, Imam adz-Dzahabi dalam kitab Siyar A’lam an-Nubala’ mengatakan, ia lahir pada tahun 60 H, dan wafat pada tahun 118 H. Ia berasal dari suku as-Sadus, yaitu bagian dari Bani Syaiban, suku Arab bagian utara.
Dalam salah satu literatur yang ada, Imam Qatadah oleh Imam adz-Dzahabi dijuluki sebagai Hafizhul Ashr (penghafal di masanya) dan Qudwatul Mufassirin wal Muhadditsin (suri teladannya para ahli tafsir dan ahli hadits).
Ulama yang hidup pada masa tabiin dengan banyak kelebihan ini ternyata tidak bisa menikmati indahnya belajar menggunakan kedua matanya. Imam Qatadah terlahir dalam keadaan kedua matanya buta. Namun baginya, kebutaan mata bukan berarti meniscayakan kebutaan hati dan pikiran. Justru kondisi itulah yang membuatnya istimewa. Imam Qatadah sama sekali tidak menjadikan “kekurangannya” itu sebagai penghambat perjuangannya menuntut ilmu. Dengan kondisi seperti itu, ia mendatangi berbagai tempat ilmu tanpa malu dan ragu. Semua itu dilakukan karena ia sadar akan derajat dan kemuliaan ilmu. Tentu perjalanan yang ditempuhnya tidaklah gampang. Tak jarang ia terjatuh.
Namun, baginya fisik bukanlah penentu untuk menjadi orang berilmu. Apalah arti fisik sempurna jika tidak digunakan untuk mencari ilmu dan mengamalkannya? Semangatnya yang menggebu dan keinginanya yang menggelora mengalahkan teman-teman sebayanya ketika belajar.
Pada mulanya, Qatadah menimba ilmu dari sekian banyak shahabat Nabi Muhammad ﷺ yang masih hidup, seperti Anas bin Malik, Abdullah bin Sarjis, Handzalah al-Katib, Abu Thufail al-Kinani, Anas bin an-Nadhr, dan sahabat nabi yang lainnya radhiyallahu ‘anhum. Dengan Istiqamah, Qatadah selalu mendatangi pengajian-pengajian yang mereka selenggarakan, atau, bahkan bertatap muka secara langsung ketika ia tidak memahami suatu ilmu. Baca juga: Abu Manshur al-Maturidi, Imam Aqidah Ahlusunnah wal Jama’ah.
Setelah periode sahabat selesai, dan diganti periode selanjutnya, yaitu tabiin, Imam Qatadah belajar kepada ulama-ulama besar tabiin yang sezaman dengannya. Imam adz-Dzahabai mencatat bahwa guru Imam Qatadah saat itu terdiri dari 42 tabiin, di antaranya seperti Said bin al-Musayyib, Abul Aliyah, Zurarah bin Aufa, Atha’ bin Abi Rabah, Imam Muhammad bin Sirin, Abi Mulih bin Usamah, Imam Hasan al-Bashri dan yang lainnya. Bahkan, menurut Imam adz-Dzahabi, Qatadah berguru kepada Imam Hasan al-Bashri selama dua belas tahun.
Dengan bermodalkan semangat dan mCerita Kekuatan Akan Hafalan Imam Qatadahengandalkan pikirannya, Qatadah muda terus saja melahap semua ilmu yang diajarkan oleh guru-gurunya. Tidak hanya paham, ia menghafal semuanya. Maka, tidak heran jika Imam adz-Dzahabi dalam kitab Siyar A’lam an-Nubala’ mengatakan bahwa ia sebagai Hafidhul Ashr (penghafal di masanya) dan Qudwatul Mufassirin wal Muhadditsin (suri teladannya para ahli tafsir dan ahli hadits).
Syekh Ali bin Muhammad asy-Syaukani pernah menceritakan tentang ihwal Imam Qatadah ketika berguru pada Imam Said bin al-Musayyib. Dalam kitabnya disebutkan yang artinya: “Imam Qatadah pernah ingin menetap di (rumah) Imam Said al-Musayyib selama 8 hari (untuk menimba ilmu darinya), maka Imam Said mengatakan padanya di hari ketiga: ‘Pergilah wahai penyandang tunanetra, sesungguhnya engkau telah mencuriku’”.
Akhirnya, Imam Qatadah dengan segala pengembaraannya dalam mencari ilmu yang menguras kekuatan, dengan segala keterbatasannya yang serba melelahkan berujung manis. Kegigihannya menuai hasil, semangatnya kini telah terbayar. Ia sukses mendalami berbagai cabang ilmu syariat. Bahkan, sangat jarang dijumpai ada seorang yang bisa mengunggulinya. Ia menjadi tokoh bersejarah dalam Islam. Ia adalah orang yang kuat daya ingatannya dalam menghafal dari kalangan penduduk Bashrah. Tidaklah ia mendengar suatu ilmu melainkan langsung bisa menghafalnya. Sebagai guru dari Imam Qatadah, Imam Said al-Musayyib, begitu mengagumi muridnya yang satu ini. Pujiannya kepada muridnya pernah disampaikan secara langsung, “Aku tidak menyangka bahwa Allah ﷻ telah menciptakan manusia dengan kekuatan hafalan sepertimu”
Bagi mereka hendak belajar, mereka akan banyak menemukan ilmu dari apa yang telah dilakukan dari sosok seperti Imam Qatadah. Kekurangan dan keterbatasan fisik bukanlah penghalang untuk menggapai kesempurnaan di sisi Allah ﷻ. Karena Allah bukanlah dzat yang seperti itu. Melainkan dzat yang memandang akan hati dari setiap hambanya.
Demikianlah Cerita Akan kuatnya Hafalan Imam Qatadah yang dapat kami sampaikan. Semoga apa yang kami sampaikan dapat bermanfaat. Amiin.