Biografi KH. Nur Iskandar, Pendiri dan Pengasuh PP. Asshiddiqiyah

Biografi Ulama
Biografi dan Sejarah Para Ulama

BuletinIslam.com | Dalam beberapa bulan ini, banyak sekali musibah yang menimpa umat Islam, bukan hanya wabah yang hingga saat ini belum bisa dipastikan kapan bisa diatasi, namun banyak sekali tokoh-tokoh yang tutup usia.

Yang terbaru, beliau adalah Dr. K.H. Noer Muhammad Iskandar SQ, seorang ulama, da’i kharismatik, Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta.

Bacaan Lainnya

Berikut ini kami bagikan informasi biografi singkat KH. Nur Iskandar.

Nama : Dr. K.H. Noer Muhammad Iskandar SQ

Lahir : Banyuwangi, 5 Juli 1955 M.

Ayah : Kyai Iskandar

Ibu : Nyai Rabiatun

Wafat: 13 Desember 2020

Sejarah Pendirian PP. Asshiddiqiyah Jakarta

Upaya membangun pesantren di ibukota bukan tanpa perjuangan. Perjalanan dan perjuangan panjang pun harus dilalui dengan berbagai tantangan yang berat.

Namun berkat dukungan dan dorongan yang begitu kuat dari Kyai Mahrus Ali, Pimpinan Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Kyai Noer Muhammad Iskandar, SQ pun berhasil. “Ia banyak membuka wawasan dan cakrawala berpikir saya akan pentingnya pendidikan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia,” kata Kiai Noer tentang Kiai Mahrus Ali.

Bukan hanya itu, dalam upaya membuka cakrawala berpikir dan memahami Al Quran, umumnya metode yang diterapkan di pesantren-pesantren berkembang dengan pendekatan dogmatis.

Akibatnya, pemahaman Al Quran sebagai way of life seringkali menjadi terbatas dipahaminya, yaitu hanya menyentuh aspek ubudiyah. Sementara di sisi lain, kelompok akademisi yang berbasis di kampus sekuler, memahami Al Quran dengan pendekatan resionalistik.

“Mereka menempatkan Al Quran sebagai objek kajian akal, sehingga ayat-ayat yang tak mampu disentuh akal pikiran mereka, dengan mudah dipangkas.

Bahkan ada kecenderungan, ketika dogma Al Quran harus bersinggungan dengan budaya lokal, tidak segan-segan kelompok ini mengalahkan dogma Al Quran,” katanya.

Kondisi inilah yang memperkuat dirinya untuk tidak bergabung dengan pondok pesantren, baik yang didirkan ayahnya, Kiai Iskandar, maupun di Pesantren Lirboyo kediri sebagai staf pengajar, melainkan ia merantau ke Jakarta untuk kuliah di Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran (PTIQ).

Dari perjalanan waktu yang dihabiskan di PTIQ, Kyai Noer Muhammad Iskandar menarik kesimpulan bahwa seorang santri harus bisa membuka wawasan yang seluas-luasnya, untuk memahami simbol-simbol Al Quran lebih dari sekadar pemahaman ubudiyah.

Begitu banyak ajaran Al Quran yang sampai kini belum tergali, dan tak akan pernah selesai tergali sampai kiamat.

Maksudnya, bukan sekadar menggali atau mengkaji. Tapi esensi dan pemahamannya harus dikembalikan kepada langkah-langkah aktualisasi dalam kehidupan sehari-hari.

Dari Mushalla Triplek, Hingga Pesantren dengan 11 Cabang

Bersama dengan beberapa teman, KH. Noer Muhammad Iskandar mendirikan Yayasan Al-Muchlisin di Pluit.

Berbagai kegiatan pendidikan yang sudah mulai dirintis, terus ia tangani dengan sepenuh hati.

Bahkan, kegiatan yang berawal dari remaja Masjid Al Muchlisin ini, telah berkembang menjadi madrasah Diniyah, yang lambat laun mulai mendapat simpati masyarakat.

Bukan hanya itu, undangan ceramah juga mulai berdatangan kepada dirinya.

“Setelah tiga bulan istri dititip pada keponakan, akhirnya dengan berbekal rezeki dari Allah saya mulai mengontrak rumah di bilangan Kebon Jeruk. Rasa terima kasih kepada Mursidah saya rasa tidak cukup, tapi itu adalah sebuah kenyataan yang suka atau tidak telah menjadi warna-warni perjalanan hidup keluarga kami,” cetus Kiai Noer.

Bila Allah ingin mengangkat derajat hambanya, ternyata tidak memerlukan waktu yang lama. “Sahabat saya Ir H Bambang Sudayanto, Kepala PPL Pluit, datang kepada saya. Ia bercerita tentang sukses pekerjaannya yang terkait dengan Pantai Mutiara Indah Kapuk. Kedatangannya kali ini ingin berterima kasih atas doa saya, ia bisa meraih sukses dengan pekerjaaannya.

Sebagai ungkapan terimakasih, ia memberikan saya sebuah kios kecil di Pluit dan biaya untuk saya berangkat haji.

Hadiah ini sangat mengharukan saya. Air mata pun tak terasa menetes. Ya Allah, Engkau telah membuka jalan kami,” ungkap Kiai Noer.

“Rupanya, sesuatu yang saya anggap besar, masih ada yang lebih besar. Ketika saya akan mengurus keberangkatan haji atas biaya dari H Bambang tahun 1983, pendaftaran sudah tutup.

Namun saya tidak mau menunda keberangkatan, karenanya saya menemui kawan lama H Rosyidi Ambari, Asisten Menteri Agama saat itu,” kenangnya.

“Alangkah terkejut ia, karena memang sudah lama mencari-cari saya untuk diminta mengelola sebidang tanah di Kedoya untuk dijadikan lembaga pendidikan. Tanah ini diserahkan keluarga H Jaani kepada H Rosyidi untuk dibangun menjadi lembaga pendidikan Islam.

Untuk memberikan jawaban, seperti biasa KH. Noer Muhammad Iskandar harus menunggu isyarat langit, istikhoroh. Isyarat yang ia dapatkan menunjukkan lahan itu memang baik dan prospektif.

Meski begitu kepada H Rosyidi ia masih belum memberi jawaban menerima atau menolak. ia tetap akan menjawab tawarannya setelah kembali dari tanah suci.

Saat itu ia baru memiliki satu orang anak, Nyai Hj. Noor Eka Fatimatuzzahra. Dalam hati kecilnya selalu bertanya kepada Allah, inikah yang disebut anugerah-Mu, Ya Allah.

“Untuk urusan yang besar ini peran Istri menjadi begitu besar, ia ikut menjaga lingkungan saya agar tetap tenang dalam mengambil keputusan, sehingga tidak salah langkah.

Istri saya ibarat air yang selalu memberi kesejukan hidup kami. Ia juga memberi andil untuk hal-hal yang tidak dapat saya jangkau.

Terutama dalam mendidik anak-anak. Bukan hanya itu ia juga bisa dijadikan teman berdiskusi yang baik untuk hal-hal besar yang saya pikirkan,” tuturnya.

“Setelah mendengar berbagai pertimbangan dari beberapa kiai dan guru-guru saya, semangat saya memang semakin mantap. Maka pada tahun 1884, saya memutuskan menerima tawaran itu. Saya menyatakan menerima itu kepada H Rosyadi Ambari. Namun ia membawa saya ke rumah H Djaani, sehingga lahan seluas 2000 meter wakaf H Djaani yang tadinya dipercayakan kepada H Rosyadi Ambari dialihkan kepada saya,” jelas Kyai Noer Muhammad Iskandar.

Langkah pertama yang ia tangani adalah membangun mushola kecil dari tripleks.

Modal membangunnya dari bapak H Abdul Ghani, Putra ketiga H. Djaani. Seperti kisah sukses pada umumnya Asshiddiqiyah pun merintis dengan keprihatinan, namun dalam keprihatinan ini ia punya keyakinan yang cukup kuat, bahwa kelak lembaga pendidikan ini akan bisa maju dan berkembang.

Bahkan kini, di Kedoya, dari lahan wakaf yang seluas 2000 meter, telah berkembang menjadi 2,4 ha, yang di Batu Ceper sudah berkembang menjadi enam hektare, yang di Cilamaya menjadi 11 Hektare dan yang di Cijeruk menjadi 42 hektare.

Semua cabang-cabang ini sudah dalam perencanaan besar untuk pengembangan Asshiddiqiyah masa depan.

Disarikan dari : https://www.asshiddiqiyah.com/

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *